Renungan (Mat. 18:12-14)

Nama              : Lando G. karundeng
Prodi               : Filsafat
Semester         : III
Perumpamaan tentang domba yang hilang
(Mat. 18:12-14)

Tidak Ada (Seorangpun) Yang Benar
Mudah sekali untuk menunjukkan bahwa seseorang sudah bersalah. Bahkan sesudah waktu berlalu dan orang itu telah berubah; kita masih tetap mengingat kesalahannya. Tetapi bagaimana dengan diri kita sendiri? Saya melihat hal ini sebagai satu kenyataan dalam kehidupan kita sebagai satu kelompok. Latar belakang dan pola pendidikan/pengasuhan membuat kita membuat jarak dengan orang lain; dan seringkali merasa lebih benar, lebih baik, lebih berharga, dan sebagainya. Saya tidak sedang mengajar/menghakimi kita. Saya sendiri menyadari hal ini dalam diri saya; dan bersyukur untuk pengalaman hidup yang Tuhan ijinkan saya alami.
Apakah ada seorang pun di antara kita yang tidak pernah melakukan kesalahan? Yang benar sepanjang hidupnya? Apakah saya salah seorang di muka bumi ini yang sangat baik; sehingga sangat layak untuk menjadi anak Tuhan; bahkan mungkin Tuhan ’rugi’  kalau tidak memiliki anak seperti saya?
Teologi ‘domba’. Setelah belajar bagian ini, saya cukup senang dengan domba, termasuk lihat boneka domba. Suka tersenyum melihat ‘gambaran diri’.
Domba: binatang yang lemah. Lucu, tetapi ternyata cukup menyebalkan. Domba tidak sama dengan kambing. Kambing lebih ‘mandiri’. Domba di Negara manapun, dengan kisah di Alkitab dan para peternak di negara-negara lain, hasilnya domba dimana-mana sama ‘sifatnya’.
1.      Domba tidak dapat mencari makan sendiri. Domba tidak tahu/tidak memilih makanan yang tepat untuknya. Artinya seandainya pun dia sudah ada di dekat rumput yang benar, bisa saja dia tidak makan karena tidak tahu. Akibatnya bisa kelaparan, sakit dan mati. Atau sebaliknya, dia bertemu ilalang atau rumput yang berbahaya, tetapi karena tidak tahu, dia makan; hasilnya sakit dan mati. Karena itu gembala harus selalu menuntun domba ke rumput hijau, makanan yang tepat dan ke sungai, air yang segar yang dibutuhkannya. Tetapi kalau mencari makan sendiri, hasilnya kerusakan, kacau dan mati! Kehidupan kita seperti domba. Kita tidak bisa mencari dan memenuhi ’kelaparan’ rohani yang ada, kalau bukan Kristus yang tuntun kita. Usaha manusia memenuhi ’rasa lapar rohani’ atau kekosongan jiwa justru membawa pada kehancuran. Ada yang memenuhi dengan pesta pora, atau semedi, juga mengunjungi berbagai rumah ibadat, tapi tidak dapat memenuhi kekosongan/kelaparan itu. Lama-kelamaan, ada yang lapar, haus, sakit dan mati.

2.      Domba tidak dapat mencari jalannya sendiri. Karena itu, ada beberapa perumpamaan tentang domba yang hilang. Tetapi uniknya, domba ini sangat nakal. Kalau gembala lengah, atau memperhatikan yang lain, maka segera cari jalan lain. Mungkin bosan dengan jalan berliku-liku yang dilalui bersama sang gembala. Merasa lebih tahu jalan yang pintas dan baik. Hasil akhirnya hilang/sesat. Lalu digambarkan domba ada di ujung jurang, atau tersangkut, bahkan jatuh ke dalam jurang. Saya hanya membayangkan. Sebelum jatuh, sebenarnya domba bisa balik. Tetapi domba tidak tahu/tidak sadar bahaya itu. Jurang yang di depan tetap dimasuki. Saya memikirkan ketika ada di mulut jurang, mengapa tidak kembali menuruni bukit, kembali ke gembala dan kawanan? Tetapi domba tidak mampu, dia terus ke arah yang salah. Bagaimana pengalaman hidup kita? Bukankah tidak mudah bagi kita untuk memilih hal yang benar? Bahkan ketika sudah salah, sulit untuk kembali dan terus ke arah yang salah, terjatuh ke dalam jurang. Mengapa tidak panggil gembala? Bahkan untuk itu pun tidak mampu.

3.      Domba tidak mampu mengenali musuh yang mengancam dan tidak mampu membebaskan diri. Karena itu Yesus digambarkan seperti ’seekor anak domba yang dibawa ke pembantaian’. Domba tidak mengeluh, tidak memberontak ketika pengguntingan bulu; juga waktu disembelih. Saya bayangkan, kalau dihadapannya ada binatang buas yang akan menerkam, domba tidak lari menyelamatkan diri. Kalau pun ia melarikan diri, itu sia-sia. Kakinya kecil, dan ia tidak dapat berlari kencang. Dia lemah, tidak punya senjata untuk mempertahankan diri.
Bagaimana gambaran hidup kita? Bukankah kita seperti domba? Bahaya apa yang mengancam kita? Pergaulan, gaya hidup, cara kerja yang tidak benar, dsb. Seberapa kuatnya kita untuk membela/mempertahankan diri? Bukankah yang lebih sering terjadi kita ’kalah’, takluk pada ’pencobaan’? Lalu bagaimana/mengapa kita bisa lepas?
Tetapi kemudian, gembala datang dengan kasih. Ia tau ada domba kecil yang hilang/melarikan diri darinya dan kawanan. Ia datang mencari. Dari jauh ia memanggil nama domba ini. Perhatikan bahwa gembala selalu membawa gada dan tongkat. Selain untuk melawan musuh/binatang buas; tongkat berfungsi mengarahkan domba atau menariknya ke arah yang benar. Memukul domba? Saya pikir tidak seperti itu. Dalam kondisi domba yang sudah sesat, bingung dan lapar; gembala datang justru merangkulnya, dan membawanya pulang dalam gendongannya.  Inilah salah satu sikap dari Gereja kita. Sikap gereja kita ini terbuka sehingga tidak menjadi hakim melainkan Bapa yang baik hati. Sehingga tidak ada seorangpun yang benar.
Inti dari kehidupan domba: ia tidak dapat hidup tanpa gembala dan kawanannya. Gembala kita adalah Kristus. Ia tahu kita lelah, lapar, salah jalan dan terancam binasa. Syukur bahwa Ia datang mencari kita. Kita tidak pernah mencari dan temukan Dia. Dialah yang menemukan kita dan dalam kasihNya membawa kita kembali dekat kepadaNya.